Sidang PT TBS, JPU Abaikan Pedoman Jaksa Agung

Sidang PT TBS, JPU Abaikan Pedoman Jaksa Agung

Sidang di PN Teluk Kuantan(foto:ist)

Teluk Kuantan - Jaksa Penuntut Umum (JPU)diduga mengabaikan ketentuan pedoman Jaksa Agung nomor 24 tahun 2021 dalam mendakwa dan menuntut kasus pencurian di lahan yang dilelang milik PT Tri Bakti Sarimas (TBS) dengan terdakwa Bambang Haryono dan Beyamin. 

Pernyataan ini keluar dari penasihat hukum kedua terdakwa, Advokat Juffry Maykel Manus SH pada persidangan lanjutan kasus pencurian dan penggelapan kelapa sawit yang berlangsung di Pengadilan Negeri Teluk Kuantan, Selasa 23 Juli 2024, 

Kedua terdakwa, yaitu Bambang Haryono dan Beyamin dituntut dengan hukuman empat tahun penjara. Keduanya dalam dakwaan jaksa melakukan pencurian di lahan seluas 17 ribu hektare milik PT TBS yang dilelang oleh Bank BRI ke Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Pekanbaru dan dimenangkan oleh PT Karya Tama Bakti Mulia (KTBM). "Seharusnya jaksa mengetahui bahwa masih ada gugatan perdata dan TUN (tata usaha negara) yang diajukan oleh PT TBS terkait status HGB (hak guna bangunan) dan HGU (hak guna usaha) obyek lelang itu," ujar Juffry. 

Ia pun mengutip pedoman Jaksa Agung nomor 24 tahun 2021 tentang penanganan perkara tindak pidana umum.

''Pada tindak pidana dalam obyek tanah merupakan lahan bisnis yang prospektif dan menggiurkan sehingga sangat berpotensi kasus-kasus tanah ditunggangi oleh berbagai kepentingan, baik di kalangan oknum perseorangan, mafia tanah, maupun makelar kasus. Terdapat indikasi dimana kasus-kasus tanah yang sejatinya perdata dipaksakan dan direkayasa menjadi perkara pidana, antara lain dengan menggunakan pasal 170, pasal 263, pasal 266, pasal 378, pasal 385 atau pasal 406 KUHP. Selanjutnya apabila menangani suatu perkara dengan obyek perkara berupa tanah dimana terdapat gugatan perdata atau barang (tanah), atau suatu hubungan hukum (jual beli) antara dua pihak tertentu maka perkara tindak pidana umum yang bersangkutan dapat ditangguhkan dan menunggu putusan pengadilan dalam perkara perdatanya dengan mempedomani ketentuan antara lain, pasal 81 KUHP, Perma no 1 tahun 1956, SEMA no 4 tahun 1980, dan yurisprudensi Mahkamah Agung no 413/K/KR/1980 dan yurisprudensi keputusan Mahkamah Agung 129k/kr/1979 dan yurisprudensi nomor 628k/pid/1984. Dimana jika JPU berpedoman dan menjaga kehati-hatian dalam menuntut perkara yang obyek tanahnya bermasalah.

"Nah, jika memperhatikan pedoman Jaksa Agung, seharusnya perkara ini tidak naik ke tingkat penuntutan, karena dengan adanya pedoman tersebut untuk menghindari kriminalisasi terhadap pihak terdakwa dan menjaga agar penegak hukum tidak diperalat oleh pemilik modal serta mencegah kezoliman dalam penegakan hukum,'' ujar Juffry .

Pada proses persidangan yang sudah berlangsung selama 1 bulan ini, majelis hakim yang dipimpin Agung Iriawan SH MH menemukan banyak fakta mengejutkan. Mulai dari perubahan tanggal laporan peristiwa dari 29 Desember 2023 di penyidikan yang berubah menjadi 2-5 Januari 2024 di dalam dakwaan hingga bukti sertifikat yang ternyata masih milik PT TBS. 

Tak hanya itu, gugatan perdata oleh PT TBS tanggal 2 januari 2024 sedangkan laporan ke polisi oleh PT KTBM tanggal 5 Januari 2024. " Jika merujuk pada pedoman jaksa agung, seharusnya perkara ini tidak layak untuk disidangkan. Karena proses hukum perdata sedang berlangsung dan belum berkekuatan hukum tetap. Fakta  persidangan menunjukan bahwa sertipikat juga masih milik PT TBS pada saat peristiwa yang dituduhkan yaitu tanggal 2-5 Januari 2024, sehingga belum ada peralihan balik nama dan tidak ada pencurian buah sawit karena lahan masih milik PT TBS," katanya. 

Selain itu menurut Juffry saat peristiwa terjadi seperti yang dituduhkan belum ada letak sita dari Pengadilan maupun eksekusi pengosongan oleh pengadilan negeri teluk kuantan.(*) 


Redaksi

Komentar Via Facebook :