Ini Akibatnya Penghuni Kawasan TNTN Tak Diusir Paksa, Yayasan Taruna ; Pemerintah Harus tegas Sebab Pemukim Itu Akan Jadi Benalu
Pekanbaru - Akibat tidak dikeluarkannya war4ga dalam jantung Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Provinsi Riau, kini membuat masalah baru yang berakibat hutan lindung itu akan tambah hancur.
Sebelumnya kabarriau.com memberikan saran jitu tanpa banyak masalah untuk pengosongan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Provinsi Riau. “putus akses PLN, Jalan, dan pangan”.
Tapi cara ini malah diabaikan sehingga saat ini warga dengan leluasa merusak aset pemerintah dalam taman nasional pelindung satwa itu.
Ulah perusakan warga ini juga akibat pernya Komisi XIII DPR RI menyatakan penolakannya terhadap rencana relokasi warga yang tinggal di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Kabupaten Pelalawan, Riau.
Kebijakan tersebut dinilai berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM), “Komisi XIII DPR RI menolak relokasi warga di kawasan TNTN Provinsi Riau karena melanggar HAM,” ujar Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Sugiat Santoso, saat membacakan kesimpulan rapat dengar pendapat di Jakarta, Senin (29/9/25) lalu.
Tentunya dari pembelaan ini yang membuat perusak hutan ini besar kepala, Ketua Yayasan Taruna di Riau, Pahala Sihombing, Selasa (25/11/25) meminta semua pihak di pemerintahan agar segera mengosongkan masyarakat yang masih ada dalam TNTN ini.
“Kalau tak dibersihkan warga yang dahulunya terkait dengan perusakan hutan maupun membeli lahan kawasan hutan ini akan menjadi benalu,” katanya.
Operasi ini menjadi langkah awal penertiban kawasan hutan konservasi yang selama bertahun-tahun dikuasai dan digarap secara ilegal oleh individu maupun kelompok masyarakat.
Trik ini agar tidak banyak memakan biaya dan korban, “untuk melakukan tugasnya mengosongkan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Provinsi Riau, Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) tak perlu banyak resiko.
Setelah itu cara yang harus dilakukan untuk mengobati hati masyarakat yang memang petani yang menggantungkan hidupnya dari penjualan tandan buah segar (TBS) sawit ialah dengan mengganti sesuai porsinya?.
Pertama - Warga yang lahannya ada legalitas atau surat itu harus dicarikan solusinya dengan mengganti lahan sawit ini dengan lahan sawit perusahaan yang tidak ada plasma.
“Misalnya pola KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Anggota) dalam perkebunan kelapa sawit dengan skema kemitraan
Perusahaan inti bertindak sebagai penjamin kredit dan memberikan dukungan teknis kepada petani.
Dari informasi yang diterima media ini di Riau, ada sebanyak 128 perusahaan perkebunan kelapa sawit tanpa memiliki plasma, “nah kesinilah warga TNTN dipindahkan”l
Luas lahan sekitar 746.100,12 hektare. Lahan ini merupakan bagian dari total luas perkebunan sawit di Riau yang mencapai 3,3 juta hektare.
Ratusan perusahaan tersebut menguasai Izin Usaha Perkebunan (IUP) seluas 1,739,300.85 hektar (Ha).
Selain itu bagi yang tidak memiliki legalitas namun mereka berdomisili dalam kawasan TNTN selayaknya mereka juga dipindahkan dengan skema kredit kepada perusahaan yang tidak memiliki plasma.
Sebelumnya pernah diungkap, Gubernur Riau (Gubri), Edy Natar Nasution saat membahas persoalan konflik lahan dengan perusahaan perkebunan sawit dan bupati/wali kota se-Provinsi Riau, di Gedung Daerah Riau, Pekanbaru
Dari luas perkebunan 1,7 juta Ha lebih, baru 145 perusahaan perkebunan sawit yang mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) atau baru 53 persen, dengan luas lahan 992.992,02 Ha atau baru 57 persen.
Gubri mengatakan, luas lahan perkebunan sawit di Riau seluas 3,3 juta Ha atau 20,08 persen dari luas sawit secara nasional 16,3 juta Ha lebih.
"Ini artinya luas lahan sawit di Riau paling terluas di Indonesia. Dari angka itu, perizinan sawit di Riau ada seluas 1,7 juta Ha lebih, dengan jumlah perusahaan terdaftar 273 perusahaan. Sementara yang sudah memiliki HGU baru 145 perusahaan atau 53 persen," kata Gubri.
"Adapun perusahaan yang belum memiliki HGU ada sebanyak 128 perusahaan atau 47 persen, dengan luas lahan seluas 746.100,12 Ha atau setara dengan 43 persen. Ini kalau kita cermati merupakan persoalan tersendiri," tambahnya.
"Ini kan sebuah penyimpangan dan pelanggaran. Seharusnya hal-hal seperti ini tidak boleh lagi terjadi, kalau kita berada di kesadaran yang baik. Itu baru soal izin. Belum lagi kita bicara soal kewajiban perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi. Dimana berkewajiban melaksanakan fasilitasi pembangunan kebun sawit untuk masyarakat," tegasnya.
Katanya, saat ini perusahaan perkebunan sawit yang baru melaksanakan partisipasi pembangunan kebun sawit masyarakat baru 56 perusahaan dari 273 perusahaan (20 persen) setara dengan 298.357,66 Ha, dari total lahan seluas 1,7 juta Ha lebih.**






Komentar Via Facebook :