Pekerja Sumut Ungkap Dugaan Praktek Perbudakkan Kebunan Sawit Di Pulau Rupat

Dumai - Praktek perbudakan masih terjadi di negara ini, hal itu terungkap dari kejadi oleh 22 pekerja di Pulau Rupat, Dumai, MInggu (18/6/23).
Kelompok pekerja Amat Ridho Lubis yang berasal dari Sumut harus lari dari lokasi kerjanya karena merasa jadi korban perbudakan, saat lari itu kelompok ini mengaku belum di subuh yang cuaca lautnya sangat dingin .
“Kami harus lari, bagaimana harus bertahan, jika bertahan lebih gawat lagi, karena hanya menunjukan beban hutang yang mungkin ratusan juta per bulan, karena 4 hari saja hutang makan kami begitu besar,” terang buruh sawit warga asal Padang Sidempuan, Sumut, ini, Minggu (18/6/23).
Katanya, untung masih ada penolong membantu keluar dari kebun sawit di Rupat ini, “kami tadi dibantu salah satu Petugas Desa bernama Darul Aman atau kepala Dusun,” katanya.
Dewa penolong ini ujar nya, memberikan makanan dan membantu kelompok ini kabur menuju pelabuhan penyeberangan, “kami diantar pakai mobil orang kampung bernama Darul Aman,” kata Ardiansyah Harahap.
“Kami terdampar di Halte ini ada 22 orang dan masih ada teman kami 14 orang lagi tertahan, tidak bisa larik Kami menduga mereka ditahan pihak yang membawa kami masuk kerja (TB) ke situ inisial. Kami akan melaporkan si pembawa TB dan pemberi makan kami (KA) ke polisi,” kata mereka.
Terpantau ada sebanyak 22 orang warga asal Padang Sidempuan, Sumut terlantar kedinginan di Halte Pelabuhan Roro Tanjung Kapal, dini hari, Minggu (18/6/2023)
Mereka terlihat tidur di tepi-tepi (teras) warung Penyeberangan Rupat-Dumai Riau, sekira pkl 00.30. Mereka mengaku lari dari PT. MJ karena dipekerjakan dengan janji gaji Rp 3.1 juta per bulan.
“Tetapi sampai di Pulau Rupat kami dipekerjakan tidak sesuai yang dijanjikan,” kata salah seorang pekerja itu, Amat Ardiansyah.
Bahkan mereka disuruh menunas pelepah sawit dengan target Rp. 50 rupiah pokok/orang, “sedangkan pelepah di pokok sawit sangat semak rata-rata 35 pelepah/pokok dan di sekitar pangkal sawit penuh belukar, ini sama dengan perbudakan,” katanya.
Saat dari kampungnya kelompok ini dibawa oleh orang berinisial TB dengan janji hanya bekerja sebagai tukang babat rumput dan memupuk tanaman Sawit di perusahaan perkebunan sawit di Pulau Rupat.
Jadi, “yang dapat kami kerjakan hanya 9 pokok/ hari per orang “, setelah kami coba satu grup 5 orang hanya dapat 47 pokok sehari, group kami ada 7 diperlakukan sebagai pekerja kontrak,” ungkapnya.
Sebelumnya ketika tiba di Dumai mereka dibawa naik Pompong melintasi lautan, lalu masuk dari Hutan-hutan bakau menuju Perusahaan.
“Kami tidak tahu namanya saat itu, dan kami jumpa di lapangan hanya satu kali dengan orang yang diduga sebagai bos perempuan.
“Saat itu bos perempuan ini menasehati kami agar bagus-bagus bekerja, hati-hati dan selamat bekerja ya ?,” katanya menirukan kata perempuan itu.
Karena tidak sesuai janji dan kami tidak mampu mengerjakan kontrak yang ditargetkan, maka kami meminta supaya kembali ke perjanjian awal dan kami memutuskan pulang.
“Anehnya pihak perusahaan yang bernama Um menunjukkan Faktur bon belanja selama 4 hari kerja senilai Rp. 23 juta lebih, ini yang membuat kami terkejut,” katanya.
Katanya melalui kasir perusahaan bernama Irvan Septian “kami diancam harus melunasi dulu baru kami bisa pulang,” jelas Ardiansyah.
”Kami tertipu dan mau diperas, buktinya, kami dibawa masuk melalui jalan tikus masuk ke hutan, naik pompong, apakah perusahaan. Kami tidak tahu, yang jelas Tb dan Um yang menjawabnya,” katanya.
Kejadian serupa sebelumnya memang terjadi, hal tersebut terungkap dari pernyataan warga Desa, Darul Aman.
“Memang benar hal semacam itu pernah terjadi di Perusahaan tersebut. Itu bukan sekali, namun selalu saja berulang kali,” katanya. Wartawan Zaini melakukan konfirmasi pada UM namun tidak tersambung.**
Komentar Via Facebook :