Pantun Kebudayaan Melayu Terancam Punah

Pantun Kebudayaan Melayu Terancam Punah

Pekanbaru - Hakikatnya pantun adalah bentuk tradisi budaya lisan yang mengajak seseorang dalam kebaikan. Namun sesuai perkembangan, kelestarian pantun sudah dikhawatirkan.

�Pantun secara singkat merupakan ekspresi bahasa yang santun dengan aturan," kata Ketua Lembaga Melayu Riau (LMR) H Darmawi Aris SE, Minggu  15/4/2017.

Menurut putera kelahiran Bengkalis ini, pantun adalah filosofi orang Melayu dalam berbahasa yang ringkas, "ada aturannya, seperti untuk menyampaikan berbagai kepentingan dan keperluan.� Dia sangat setuju Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Indonesia yang merupakan lembaga komunitas bersama Pemerintah Daerah Riau mengajukan pantun menjadi warisan budaya melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. 

Organisasi yang dipimpin oleh Pudentia itu sudah melakukan riset mendalam dan lama mengenai pantun hingga akhirnya diajukan serta ditetapkan menjadi warisan budaya takbenda Indonesia oleh Kemendikbud. Kata Darmawi, pada tanggal 31 Maret lalu, Indonesia bersama Malaysia resmi mengusung pantun menjadi warisan budaya takbenda dunia ke UNESCO. 

Darmawi menjelaskan, dalam bahasa Melayu, akar kata pantun berasal dari �pan� yang berarti sopan atau beretika dan �tun� bermakna teratur. �Tun� juga dapat diartikan sebagai arah atau bimbingan. Kedua kata tersebut membuat pantun bermakna sebagai bahasa yang sopan untuk memberikan arah atau petunjuk dalam hidup. 

Secara aturan bahasa, pantun Melayu dikenal memiliki ketentuan umum berupa empat baris yang bersajak a-b-a-b. Dua baris di awal merupakan sampiran, sedangkan dua baris di bawahnya ialah isi atau pesan yang disampaikan. "Masyarakat Melayu menggunakan pantun dalam berbagai kepentingan mulai dari pergaulan muda-mudi, pernikahan, pembagian harta warisan, hingga menyelesaikan konflik," ujarnya.

 

Pantun sudah mengakar dalam kebudayaan Melayu. Meski pantun di masa modern kerap diidentikkan dengan ekspresi lawakan, Menurutnya, budaya itu sudah berkembang sejak abad ke-15 Masehi dan terus berkembang di kawasan Semenanjung Malaya, hingga saat ini digunakan dalam 35 bahasa dengan ketentuan yang beragam. Pantun muncul sebagai bentuk ekspresi dari orang Melayu memaknai kehidupan.

Dalam pantun terkandung khazanah pemikiran orang Melayu yang cerdas dalam mengombinasikan perbuatan, kelakuan, dan alam sekitar dalam bentuk bahasa yang berseni.

Kearifan Lokal

Pantun yang berkembang dari abad ke abad itu terus hidup dalam budaya masyarakat Melayu di Nusantara, terutama Provinsi Riau, salah satu provinsi dengan mayoritas budaya Melayu.

 

Menurut Kepala Dinas Kebudayaan Riau Yoserizal Zen, pantun merupakan bahasa yang biasa dan ada dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Riau. �Pantun merupakan kearifan lokal di Riau, hal lazim dan biasa di lakukan,� kata Yoserizal pada wartawan belum lama ini.

Dalam tradisi budaya Melayu, pantun seakan tak bisa ditinggalkan. Hampir semua tradisi lisan menggunakan pantun, seperti randai kuantan, koba, dan kayat. Randai kuantan merupakan kesenian rakyat asal Kuantan Singingi, Riau, berupa penuturan kisah yang sudah disusun dengan dialog dan pantun logat Melayu Kuantan disertai lagu Melayu sebagai jeda antar babak.

Senada dengan randai kuantan, koba dan kayat juga termasuk tradisi lisan yang berkembang di tengah masyarakat Melayu Riau, berupa penuturan kisah mulai dari keseharian seperti percintaan hingga tuntunan hidup. Meski hidup dalam banyak sendi kehidupan masyarakat Melayu, penutur pantun-pantun pusaka dalam beberapa tradisi lisan itu terus berkurang. �Kami khawatirkan juga penuturnya jadi kurang, tak ada lagi generasi berikut dalam tradisi itu sehingga punah,� ujar Yoserizal.

Untuk melestarikan pantun Melayu itu, pengajuan pantun menjadi warisan budaya sebagai salah satu cara untuk melestarikan kearifan lokal dan identitas Melayu. Bukan cuma di Indonesia, pantun juga mengakar dalam kehidupan masyarakat negara tetangga, Malaysia. ***

 


Redaksi

Komentar Via Facebook :