Jaksa Agung Setujui 6 Restorative Justice, Termasuk Perkara Penggelapan di Malinau

Kajagung RI Burhanuddin ST
Jakarta – Kejaksaan Agung Republik Indonesia kembali menegaskan komitmennya dalam menerapkan pendekatan keadilan yang lebih humanis. Melalui ekspose virtual yang digelar pada Rabu, 30 Juli 2025, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana menyetujui 6 permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif (restorative justice) dari berbagai daerah di Indonesia.
Salah satu perkara yang disetujui adalah kasus penggelapan dalam jabatan di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, dengan tersangka Andre Yudi Panggabean, mantan karyawan Koperasi Purba Jaya Mandiri. Andre disangka melanggar Pasal 374 KUHP subsidair Pasal 372 KUHP setelah terbukti tidak menyetorkan hasil penagihan angsuran pinjaman nasabah senilai Rp21 juta, yang justru digunakan untuk membiayai kuliah adiknya dan membantu ekonomi keluarganya di kampung.
Perdamaian antara tersangka dan pihak koperasi berlangsung pada 21 Juli 2025, dengan kesepakatan bahwa kerugian akan dikembalikan secara penuh. Proses ini difasilitasi langsung oleh Kepala Kejaksaan Negeri Malinau I Wayan Oja Miasta, S.H., M.H., beserta tim jaksa dari Seksi Pidana Umum.
Permohonan penghentian penuntutan diajukan ke Kejaksaan Tinggi Kalimantan Utara dan akhirnya disetujui oleh JAM-Pidum dalam ekspose RJ. Keputusan ini memperhatikan prinsip keadilan, nilai kemanusiaan, dan kepentingan masyarakat.
Selain perkara di Malinau, JAM-Pidum juga menyetujui 5 perkara lainnya yang diselesaikan melalui pendekatan keadilan restoratif, yakni:
1. Panca Noka Panjaitan (Kejari Tanjung Balai) – Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
2. Rizal alias Ijal (Kejari Tanjung Balai) – Pasal 335 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang Pengancaman.
3. Junaidi bin Syukri (Kejari Aceh Timur) – Pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan.
4. Samser alias Heri bin Alm. Kamaruddin (Kejari Aceh Timur) – Pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan.
5. I Zulmahdi bin M. Daud & Faudan M. Aziz (Kejari Bireuen) – Pasal 351 Ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Alasan pemberian restorative justice meliputi:
Telah terjadi perdamaian secara sukarela antara tersangka dan korban.
Tersangka belum pernah dihukum atau melakukan tindak pidana sebelumnya.
Ancaman pidana tidak lebih dari lima tahun.
Proses perdamaian dilakukan tanpa paksaan dan mendapat respons positif dari masyarakat.
JAM-Pidum menegaskan, seluruh Kepala Kejaksaan Negeri yang menangani perkara tersebut diminta segera menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) sesuai Peraturan Kejaksaan RI No. 15 Tahun 2020 dan SE JAM-Pidum No. 01/E/EJP/02/2022 tentang pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
“Keadilan restoratif bukan berarti pembiaran terhadap pelanggaran hukum, namun menjadi ruang untuk pemulihan, pertanggungjawaban, dan kepastian hukum,” tegas JAM-Pidum.
Komentar Via Facebook :