Ketidakmampuan Memastikan Pasokan Memadai dalam Mengelola Pasokan LNG dan Gas Bumi, Yusri; Kebijakan Manajemen PGN Menunjukkan Kegagalan

Jakarta - Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman menjelaskan, bahwa penurunan pasokan ini menimbulkan fenomena "hipotensi jaringan gas" di sistem PGN.
Hal ini dikatkannya usai dikabarkannya jaringan pipa transmisi South Sumatera-West Java (SSWJ) milik PT PGN, Tbk. menghadapi kondisi kritis akibat ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan gas bumi.
Menurutnya, kurangnya cadangan gas di jaringan pipa akan menyebabkan penurunan tekanan, yang pada akhirnya mengurangi volume gas yang dapat disalurkan ke pelanggan. Jika situasi ini terus berlanjut, seluruh industri di Jawa Bagian Barat terancam mengalami penghentian pasokan gas.
"Krisis ini hanya dapat diatasi dengan dua cara: meningkatkan pasokan gas atau membatasi konsumsi pelanggan. Namun, menambah pasokan gas bukanlah solusi mudah," ujarnya.
"Salah satu opsi adalah menginjeksi LNG ke dalam jaringan melalui FSRU Lampung atau Nusantara Regas. Sayangnya, upaya ini terkendala oleh ketidakmampuan manajemen PGN untuk mendapatkan pasokan LNG yang memadai," sambungnya.
Untuk mengatasi masalah ini, PGN sebenarnya telah mengeluarkan kebijakan pembatasan konsumsi gas, melalui surat edaran kepada pelanggan pada akhir Desember 2024.
Dalam surat tersebut, PGN membatasi konsumsi gas pipa dengan harga normal hingga 45% dari volume kontrak, sementara 55% sisanya dikenakan harga LNG yang hampir dua kali lipat lebih mahal.
"Volume LNG yang masuk ke SSWJ saat ini jauh di bawah 55% dari total volume gas terkontrak. Ini mengindikasikan adanya upaya culas dari manajemen PGN untuk meningkatkan pendapatan, seolah-olah terjadi perbaikan kinerja," kritik Yusri untuk PGN.
Kondisi ini, sangat mengkhawatirkan bagi industri di Jawa Bagian Barat, terutama menjelang bulan Ramadan dan Idul Fitri. Penurunan tekanan gas atau bahkan penghentian pasokan dapat merusak mesin produksi dan menghasilkan produk yang tidak memenuhi standar kualitas.
Misalnya, pada industri keramik, tekanan gas yang tidak stabil dapat membuat produk menjadi kurang kuat. Begitu juga pada industri makanan, yang menghadapi risiko produk tidak matang sempurna.
Yusri juga mengingatkan bahwa jika situasi ini dibiarkan, akan terjadi lonjakan harga jual produk dan pengurangan tenaga kerja di wilayah Jawa Bagian Barat. Hal ini bertolak belakang dengan janji pemerintah untuk menyediakan gas murah demi mendukung daya saing industri.
Dalam pandangan Yusri, kebijakan manajemen PGN menunjukkan kegagalan dalam mengelola pasokan LNG dan gas bumi. Kebijakan kuota konsumsi gas yang diterapkan saat ini mencerminkan ketidakmampuan untuk memastikan pasokan yang memadai. "Dengan memberlakukan ketentuan 45% dan 55% tersebut, PGN seolah-olah menutupi masalah sebenarnya, yaitu ketidakmampuan mereka mendapatkan LNG," tegas Yusri.
Lebih lanjut, ia berharap Direksi Pertamina dan Dirjen Migas Kementerian ESDM yang baru dilantik, dapat segera mengkaji dan memperbaiki kebijakan-kebijakan PGN yang dinilai kurang tepat.
Yusri juga mendesak pemerintah untuk memberikan perhatian serius terhadap permasalahan ini agar tidak semakin merugikan industri.
Sementara Linepack saat ini katanya, “berada pada level 780 mmscf, di bawah batas minimum 800 mmscf. Situasi ini akan memengaruhi tekanan jaringan pada pipa, yang berpotensi berdampak pada pelanggan besar seperti PLN IP Priok dan PLN Muara Tawar”.
Demikian informasi yang diterima wartawan di Jakarta, sejak Rabu (22/1/2025) pagi telah dicoba untuk dikonfirmasi beberapa media kepada Direktur Komersial PGN, Ratih Esti Prihatini dan Sekretaris Perusahaan PGN, Fajriyah Usman lewat pesan WhatsApp. Namun belum ada respon dari pihak PGN akan isu tersebut sampai berita ini dimuat.**
Komentar Via Facebook :