Babak Baru Konflik Kebun Sawit di Siak, Dirjenbun Ternyata Setujui Pengurangan Lahan PT DSI
Pekanbaru - Konflik lahan antara PT Duta Swakarya Indah (DSI)dengan masyarakat pemilik kebun sawit di Kecamatan Koto Gasib, Mempura dan Dayun memasuki babak baru.
DPP LSM Perisai selalu yang diberikan kuasa oleh petani sawit yang berkonflik dengan PT DSI telah melayangkan surat permohonan perlindungan hukum kepada Kementerian ATR BPN RI melalui Bidang Satgas Mafia Tanah di Jakarta, termasuk Instansi lain, diantaranya Kanwil ATR/BPN Provinsi Riau, Bupati Siak dan jajaran lainya.
Ketua DPP LSM Perisai, Sunardi SH menjelaskan, di tahun 1998, PT DSI diberikan SK Pelepasan Kawasan oleh Kementerian Kehutanan RI dengan terbitnya SK nomor 17/Kpts-II/1998 tanggal 6 Januari 1998, dengan luas areal yang di lepas kurang lebih 13.532 hektare (Ha) .
Areal yang diberikan pelepasan tersebut, kata Sunardi, menjadi tanah terlantar, dan berdasarkan kondisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Siak, areal izin yang diberikan kepada PT DSI tidak lagi sesuai peruntukannya.
"Sehingga pada saat PT DSI mengusulkan permohonan izin lokasi (Ilok) mendapatkan penolakan dari Bupati Siak kala itu yakni Arwin As. Dinyatakan dengan tegas bahwa izin pelepasan kawasan atas nama PT DSI tidak dapat diberikan izin lokasi oleh Arwin As," kata Sunardi, Selasa (30/7/2024).
Dijelaskannya, di sisi lain, pada tahun 2006 Arwin As kemudian mengingkari Surat yang dibuatnya sendiri dan mengangkangi ketetapan RTRW dengan menerbitkan Izin lokasi untuk PT DSI seluas 8.000 Ha. Bupati Siak tidak mempertimbangkan bahwa diatas areal 8.000 Ha tersebut, terdapat lahan milik masyarakat yang telah memiliki legalitas sah, seperti SKT, SKRG dan SHM.
Arwin As juga tidak mempedomani syarat serta prosedur serta tata cara pemberian izin usaha perkebunan. Kemudian, pada tahun 2009 Arwin As kembali menerbitkan Izin Usaha Perkebunan seluas kurang lebih 8.000 Ha.
"Berdasarkan rekomendasi bebas garapan dari tiga kecamatan yakni Kecamatan Koto Gasib, Mempura dan Dayun, lokasi diatas areal 8.000 hektar tersebut menyisakan areal seluas 2.369 Ha yang diberikan rekomendasi untuk dikelola oleh PT DSI. Kemudian Pemkab Siak melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan pada tanggal 18 Desember 2015 menyurati Dirjenbun Kementerian Pertanian dengan pokok surat yang isinya mengajukan perubahan Izin Usaha Perkebunan (IUP) dari luas sebelumnya 8.000 Ha menjadi 2.369 Ha," bener Sunardi.
Menyikapi surat itu, Dirjenbun memberikan penjelasan pada tanggal 14 Januari 2016 melalui surat nomor 229/PI.400/E/01/2016 yang ditujukan kepada Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabulaten Siak tentang pengurangan IUP atas nama PT DSI dari 8.000 Ha menjadi 2.369 Ha. Dirjenbun juga menegaskan agar PT DSI segera memproses persetujuan pengurangan luas lahan.
"Namun upaya tersebut tidak tidak direspon oleh PT DSI. Perusahaan itu tetap mempertahankan areal 8.000 hektare serta mengabaikan surat yang diberikan Dirjenbun RI. Surat penjelasan dari Dirjenbun tersebut telah sampaikan oleh pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabulaten Siak pada tanggal 13 September 2016 tentang realisasi perintah pengurangan lahan dari 8.000 Ha menjadi 2.369 Ha berdasarkan rekomendasi tiga kecamatan yakni Koto Gasib, Mempura dan Dayun oleh Dirjenbun RI," terang Sunardi.
Artinya, sejak tahun 2016, PT DSI telah mengabaikan surat perintah untuk memproses persetujuan pengurangan lahan tersebut sampai saat ini. Atas tindakan PT DSI yang telah mengabaikan instruksi dari Dirjenbun RI serta Dinas Kehutanan dan Perkebunan tersebut, Pemkab Siak tidak memberikan sanksi dan terkesan membiarkan.
"Akibatnya terjadi konflik yang berkepanjangan dengan masyarakat di tiga kecamatan tersebut. Sehingga kelalaian tersebut menimbulkan kecurigaan dan memunculkan dugaan ada udang dibalik batu antara PT DSI dengan Pemkab Siak. Untuk itu kami berharap pihak Kejaksaan Agung RI yang telah menerima laporan kami segera menindak lanjuti permasalahan tersebut. Ini mengindikasikan adanya dugaan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, apalagi PT DSI hingga saat ini tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU) sejak beroperasi sampai sekarang. Ini tentunya menimbulkan potensi kerugian negara yang sangat besar," pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri ATR/BPN, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menegaskan, pihaknya bertekad dan berkomitmen untuk menumpas serta membereskan praktek mafia tanah beserta oknum-oknum aparatur sipil negara (ASN) dan aparat penegak hukum yang terlibat.
AHY menegaskan, pihaknya telah melakukan pemetaan dan bersinergi dengan Kejaksaan Agung RI, Kepolisian dan pemerintah daerah untuk membereskan praktek mafia tanah yang sangat merugikan masyarakat. Selain itu, Kementerian ATR BPN juga berkomitmen secara internal dan eksternal agar semua pihak terkait bersih dari mafia tanah.
"Kita bersikap tegas tidak boleh setengah-setengah. Kalau meyelesaikan harus tuntas masalahnya, tetapi juga secara internal. Inilah kenapa kita membangun zona integritas tidak boleh ada yang masuk angin, karena berarti masalahnya dari tubuh pemerintah atau birokrasi sendiri, ini yang perlu kita bereskan. Itu sekali lagi hanya oknum, sebagian kecil saja, karena yang lain ini adalah orang-orang yang terus bekerja keras, pagi, siang, malam untuk melayani masyarakat di urusan pertanahan dan tata ruang. Itulah mengapa saya mengapresiasi para pegawai ATR BPN dan mudah-mudahan terus meningkat kapasitas SDM maupun integritas yang baik bersama dengan berbagai stakeholder. Saya berkeyakinan lambat laun kita bisa memberantas mafia tanah," pungkasnya.(***)
Komentar Via Facebook :