Pakar Lingkungan Nasional Angkat Bicara
Kebun Negara Dilegalisasi Ayau, Dr Elviriadi ; UU CK tidak Boleh Ditafsirkan Serampangan

Riau - Seorang cendekiawan di Riau dan juga Akademisi, yang saat ini dikenal masyarakat sebagai pakar lingkungan hidup dari Provinsi Riau Dr Elviriadi SPi., Msi, buka suara terkait terjemahaan undang - undang Cipta Kerja (UUCK) Sebagai Tiket “Fast-Track” Untuk Legalisasi Sawit Dalam Kawasan Hutan.
Dia menjawab dimana saat dimintai pendapatnya terkait ada orang mengatasnamakan Kelompok Tani Kepau Jasa Sukses Lestari luasnya 1546 Hk, di Desa Kepau Jaya, kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar, Riau, milik Surianto Wijaya alias Ayau yang mengusulkan pemutihan dan pengampunan usaha kebun sawit dalam UU CK, yang mana sebagian lahan yang diusulkan tersebut merupakan lahan negara sesuai putusan pengadilan (PN) No 28 bahwa gugatan Yayasan Riau Madani dan kebun atas nama Ayau tersebut telah dinyatakan telah inkrah atau berkekuatan hukum tetap untuk dikembalikan menjadi kawasan hutan.
Pakar lingkungan Nasional ini menjawab, “UU Cipta Kerja tidak boleh ditafsirkan dan digunakan secara serampangan. Harus ada kajian untuk menilai kelayakan sebelum dinyatakan diampuni”.
“Tujuannya semua perundangan untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup sesuai daya dukung ekologis, apalagi misalnya lahan sawit yang terlanjur itu dimiliki oleh seseorang dalam jumlah besar, tentu ini sudah tidak proporsional dalam pemanfaatan kawasan,” kata Ketua Majelis LH Muhammadiyah itu sebelumnya, dan dilansir hari ini Sabtu (13/1/24).
Akademisi yang juga kerap menjadi saksi ahli lingkungan di Pengadilan itu, menyebut itu karena harus bersikap kritis sebagai seorang akademisi, “tak bisa terlalu teknis per kasus supaya menyentuh semua pihak yang bermain kotor?,” katanya.
“Karena jaringan mafia sawit itu cukup masif dan terorganisir. Jika sudah ada putusan pengadilan, maka negara dalam hal ini KLHK, masyarakat, dan pengusaha harus mematuhi putusan Pengadilan. Segala regulasi dan upaya administrasi atas lahan sawit yang jadi objek perkara tidak sah,” kata Kepala Departemen Perubahan Iklim Majelis Nasional KAHMI ini.
Doktor yang berkarir di UIN Suska Riau tersebut, menjelaskan para pengusaha jangan hanya berpedoman kepada ketentuan yang termuat dalam Pasal 110 a dan Pasal 110 b Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU CK), yakni mengizinkan kebun sawit yang berada di dalam kawasan hutan sebelum berlakunya undang-undang ini untuk melakukan kegiatan usaha dengan memenuhi persyaratan dan hanya memberikan sanksi berupa denda administratif kepada perusahaan yang tidak memenuhi persyaratan.
“Ingat pasal itu berlaku bagi perorangan dan bagi korporasi tentu ada perimbangan lain apalagi jelas itu kebun negara yang sudah dinyatakan pengadilan,” katanya.
Hal ini kata cendekiawan Riau ini, “mungkin tampaknya telah memberikan peluang kepada mafia sawit untuk melegalkan sawit ilegal di kawasan hutan bahkan dilakukan dengan melakukan pemutihan lahan sawit.
“Dalam perjalanannya, ketentuan yang tercantum dalam Pasal 110 a dan Pasal 110 b telah menjadi perhatian publik. Lantaran belakangan ini telah ditemukan kebun sawit di kawasan hutan yang diputihkan dengan berdasar pada regulasi tersebut,” katanya.
Katanya, setiap petani yang melaporkan luas lahannya maka sebelum diputihkan maka akan diselidiki lebih lanjut, jika lahan kebun sawit tersebut ditemukan lebih luas dari yang semula dilaporkan maka salah satu akar dari permasalahan ini adalah tidak adanya kebijakan satu peta atau one map policy sehingga menyebabkan tumpang tindih antara kebijakan satu dengan kebijakan lainnya..
Penjelasan UU CK : >> Selanjutnya halaman 2
“Keberlakuan UU CK pada saat ini menuai banyak kontroversi terutama bagi kami para pakar dan penggiat lingkungan. Hal ini terlihat di dalam Pasal 110 a Undang-Undang Cipta Kerja yang menyatakan bahwa kebun sawit yang berada di kawasan hutan dan telah memiliki izin usaha sebelum berlakunya peraturan ini tetap memiliki izin usaha tersebut dengan syarat sudah memenuhi syarat administratif berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Kehutanan dalam kurun waktu 3 tahun setelah berlakunya Perppu ini,” katanya.
Selanjutnya kata akademisi ini, “dalam Pasal 110 b, jika para pengusaha tersebut tidak menyelesaikan izin usahanya dalam waktu 3 tahun, maka sanksi yang dikenakan adalah sanksi administrasi berupa dicabutnya izin usaha dan/atau denda”.
Padahal, jika dilihat, denda dan/atau pencabutan izin usaha yang berupa sanksi administratif ini sangat timpang dengan akibat dari kerugian yang mengancam ekosistem serta menghilangkan banyak keanekaragaman hayati. Terlebih lagi, ternyata, kebun sawit sebesar lebih dari 3 hektar yang berada di kawasan hutan diketahui beberapa di antaranya tidak memiliki surat (SKT).
“Pasal 110 a dan Pasal 110 b ini memang menjadi salah satu solusi bagi sawit yang telah “terlanjur” masuk ke kawasan hutan dengan menganut asas ultimum remedium yang berarti sanksi pidana sebagai upaya terakhir karena logikanya. Tidak mungkin untuk memindahkan perkebunan sawit yang sangat luas keluar dari kawasan hutan,” katanya.
Namun ulas pakar lingkungan ini, “tanpa adanya sanksi pidana berdasarkan Pasal 110 a dan Pasal 110 b tersebut juga menyatakan bahwa setelah urusan administrasi dilengkapi, daerah yang telah terlanjur ditanami kebun sawit ini usahanya dapat terus berlanjut dalam kawasan hutan karena setelah mereka membayar denda dan pajak”.
“Memang perusahaan sawit tetap dapat menjalankan usahanya selama adanya izin berusaha, namun bukan untuk mafia yang mengatasnamakan lahan negara sebagai milik pribadi,” katanya.
“Ingat, Peraturan Menteri (Permen) LHK P.23/2023 yang mengatur bahwa sawit bukan tanaman hutan. Overlapping kebijakan ini memperlihatkan peraturan satu melegalkan tanaman sawit di kawasan hutan dan Peraturan Menteri LHK yang tidak memperbolehkan tanaman sawit di kawasan hutan karena hutan seharusnya ditanami beraneka ragam hayati bukan satu jenis tanaman, seperti kebun sawit.
“Pemerintah yang seharusnya lebih tegas lagi untuk mengatasi permasalahan seperti ini bukannya memberikan efek jera kepada korporasi, melainkan cenderung menjadikan pemutihan perkebunan sawit yang ada di dalam kawasan hutan sebesar 3,3 juta hektare sebagai sebuah solusi. Pemerintah seharusnya lebih melihat kemungkinan kedepannya akibat dari pemutihan lahan sawit ini,” katanya.
“Makanya para cukong akan semakin bebas untuk membuka lahan sawit di kawasan hutan. Di sisi lain, pemutihan lahan ini sangat berdampak buruk terhadap keseimbangan ekosistem lingkungan,” katanya.
Kata Dr Elviriad, kawasan hutan yang seharusnya ditanami berbagai macam pohon dan tanaman di dalamnya harus kehilangan biodiversitasnya. Hewan-hewan yang biasa hidup di hutan, seperti satwa liar, juga terancam karena mereka harus kehilangan tempat tinggal mereka.
“Maka tentunya pemutihan lahan sawit ini akan berdampak pada krisis iklim terutama pengusaha yang membuka lahan dengan cara membakar hutan,” kata Putra Meranti ini yang saat ini tinggal di Kota Pekanbaru, Riau.
Ulas pakar lingkungan ini, “pemutihan lahan sawit bukanlah solusi yang tepat untuk menyelamatkan jutaan hektare lahan sawit yang berada di kawasan hutan melainkan menambah permasalahan baru pada lingkungan”.
“Kebijakan yang seharusnya dibuat untuk menyelesaikan perkara kebun sawit yang ada di kawasan hutan ternyata malah menjadi sebuah alat untuk mempermudah para korporat melegalkan lahan sawit ilegal mereka. Tanpa disadari, pemutihan lahan yang ditujukan sebagai jalan pintas untuk lahan sawit yang ‘terlanjur’ berada di kawasan hutan dapat berdampak buruk bagi alam kita di masa depan,” pangkas pria botak gemoi ini.**
Komentar Via Facebook :