Bersifat "Top-Down Bottom-Up", Petani Kecil Dilibatkan Dalam Keberlanjutan dan Kesejahteraan

Bersifat "Top-Down Bottom-Up", Petani Kecil Dilibatkan Dalam Keberlanjutan dan Kesejahteraan

Milan - Keterlibatan petani kecil dalam rencana keberlanjutan yang bersifat "top-down bottom-up" dan ambisius memerlukan kebijakan dan investasi ekspansif yang disesuaikan dengan kekuatan produktif berskala kecil dan menengah. Kebijakan baru Uni Eropa tidak boleh mengabaikan peran penting petani kecil dalam kegiatan produksi pangan. Jika kalangan ini diabaikan dalam proses penyusunan kebijakan Uni Eropa (UE), artinya kemiskinan dan gejolak sosial akan timbul.

Hal tersebut merupakan pesan dari petani kecil yang terlibat dalam rantai pasok kelapa sawit, motor penggerak dalam produksi global, yang disampaikan dalam sebuah konferensi "Small-Holders: Drivers of Prosperity and Sustainability", dipromosikan Competere. Hal ini disampaikan oleh Gert van der Bijl, Senior EU Policy Advisor dari Solidaridad. Jumat (17/12/21).

"Produksi berkelanjutan tidak akan tercapai tanpa melibatkan para petani kecil dan perkembangan sosio-ekonomi mereka. Di satu sisi, deforestasi tidak akan terhenti jika petani kecil tidak memiliki sarana untuk melakukan produksi secara berkelanjutan," ujar Gert Van der Bijl.

Bagi para petani kecil di Nelsy Vega dan Teresa Pena, Kolombia, budi daya kelapa sawit menjadi sumber kehidupan, harapan, dan peluang pengembangan diri, baik bagi mereka sendiri dan anak-anaknya.

Sementara itu Djono Burhan dari Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia, mengatakan kalangan ini juga meminta UE agar tidak membuat stigma terhadap kegiatan produksi berkelanjutan yang dijalankan petani kelapa sawit.  

"Petani kecil memperoleh manfaat sosial dan ekonomi dari perkebunan kelapa sawit. Sektor ini menopang perkembangan seluruh masyarakat, bahkan jika rantai pasok yang lebih panjang menurunkan pendapatan petani," kata Djono.   

Menurut Maria Goldameir Mektania, seorang petani kecil, menjelaskan transisi efektif menuju produksi berkelanjutan menghadirkan tantangan, dan program pelatihan menjadi kunci penting. 

"Kalangan petani memerlukan pelatihan yang tepat agar mampu melalui transisi menuju metode produksi yang ramah lingkungan. Jika kebijakan dan tingkat harga komoditas terus berubah, petani kecil mendapat imbas negatif yang paling banyak di antara pelaku sektor ini," ungkap Maria.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Adzmi Hassan, dari National Association of Smallholders Malaysia (NASH), tantangan utama dalam penerapan standar keberlanjutan terletak pada insentif pendapatan.

"Tantangan utama dalam penerapan standar keberlanjutan terletak pada insentif pendapatan," jelas Adzmi Hassan.

Sedangkan menurut, Juan Alberto Lemus Silva, Agroindustria Palmera San Román, Guatemala, menyasar kebijakan UE dan berkata bahwa kebijakan ini berpotensi menghambat, alih-alih memberikan insentif terhadap kegiatan produksi di Guatemala, sebab mengakibatkan kenaikan harga, serta memperumit aturan dan regulasi ekspor.

"Berpotensi menghambat, alih-alih memberikan insentif terhadap kegiatan produksi di Guatemala, sebab mengakibatkan kenaikan harga, serta memperumit aturan dan regulasi ekspor," ujar Juan Alberto.

Pada sesi penutup diskusi tersebut, Pietro Paganini, President, Competere, mengatakan aspirasi pihak-pihak yang bekerja di rantai pasok kelapa sawit berkelanjutan menuntut kita mempertimbangkan kampanye negatif dan tidak kondusif yang menghambat sektor ini. 

"Aspirasi pihak-pihak yang bekerja di rantai pasok kelapa sawit berkelanjutan menuntut kita mempertimbangkan kampanye negatif dan tidak kondusif yang menghambat sektor ini. Kami mengemukakan rantai pasok global yang memiliki transparansi dan inovasi, serta telah lama berkomitmen melaksanakan proyek-proyek berkelanjutan." kata Pietro.**
 


Eko Sulastono

Komentar Via Facebook :