Warisan Limbah PT Chevron Bukan Tanggungjawab PT PHR

Warisan Limbah PT Chevron Bukan Tanggungjawab PT PHR

Pekanbaru - Berakhirnya kontrak kerjasama PT Chevron Pacific Indonesia di blok Rokan, tidak serta merta perusahaan melepaskan tanggung jawab. hal ini dikatakan Kepala Suku Yayasan Anak Rimba Indoensia (ARIMBI) , Mattheus, Sabtu (5/6/21), usai melaporkan pidana lingkungan yang dilakukan PT CPI di Polda Riau.

Mattheus menyebut, "PT Chevron menyelesaikan sengketa lingkungan hidup (SLH). Timbulnya sengketa lingkungan hidup akibat pencernaan minyak Bumi di Riau".

"Berdasarkan hasil verifikasi sengketa lingkungan hidup yang kami lakukan, bahwa SLH itu benar terjadi akibat perbuatan melanggar hukum/ketidaktaatan serta kesalahan PT Chevron Pacific Indonesia, sehingga  lingkungan hidup dan masyarakat mengalami kerugian akibat ketidaktaatan dan kesalahan PT CPI tersebut," kartanya.

Ulas Mattheus, "jika limbah lumpur bor PT CPI diangkut dan dibawa ke pusat pengolahan lumpur Bor, dan limbah dari GS (gathering station) di kelola dengan benar, serta air terproduksi di buang tidak melebihi baku mutu, maka  heavy/ crude oil tidak akan mencemari kawasan hutan, sungai, dan lahan masyarakat".

Limbah dengan jutaan M3 lanjut mattheus, "itu sengaja tidak dikelola, bahkan ada yang sengaja dibuang dengan truk Tanki di lahan masyarakat.

"Ini jelas praktek dumping limbah illegal  dan praktek pertambangan migas yg abnormal, kondisi ini sangat meresahkan masyarakat Riau sejak lama," bebernya.

Padahaln, sejak UU No 4 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup, UU No 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, kemudian UU No 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, jelas dinyatakan barang siapa merusak atau mencemarkan lingkungan hidup, memikul tanggung jawab dengan kewajiban membayar ganti rugi  kerugian kepada penderita yang telah dilanggar hak nya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
 
Merujuk pada UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, lanjut Mattheus, "bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat itu merupakan hak asasi setiap manusia, kondisi lingkungan yang tercemar dan juga pencemaran yang terjadi di lahan masyarakat, menyebabkan masyarakat tersebut juga dilanggar HAM nya".

"Ini jelas PT Chevron Pacific Indonesia mempunyai tanggung jawab mutlak / strict liability dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup untuk membayar kerugian lingkungan hidup dan masyarakat serta melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup, jadi bukan tanggung jawab PT Pertamina Hulu Rokan (PT PHR)," katanya.
 
Kemudian katanya, dalam permen LHK 101/2018 tentang pedoman pemulihan lahan terkontaminasi Limbah B3, Pemerintah/Pemprov/Pemkab/kota sesuai kewenangannya melakukan pemulihan lahan terkontaminasi Limbah B3 apabila tidak diketahui pihak yang melakukan pencemaran, dalam hal pihak yang bertanggung jawab kemudian diketahui, Pemerintah/ Pemprov/Pemkab/kota sesuai kewenangannya membebankan penggantian atas setiap biaya yang dikeluarkan dalam pemulihan lahan terkontaminasi Limbah B3 kepada pihak yang bertanggung jawab.

"Memang sudah ada lebih 125 lokasi yang diperintahkan oleh KLHK kepada PT CPI untuk melakukan pemulihan lahan terkontaminasi Limbah B3. Rencana anggaran biaya pemulihan lahan terkontaminasi Limbah B3 tersebut mendapat persetujuan dari SKK MIGAS," katanya.

Pinta Mattuus, Langkah KLHK memerintahkan PT CPI tersebut sudah tepat karena PT CPI lah yang melakukan pencemaran di lokasi yang harus dipulihkan tersebut, namun demikian masih banyak, ratusan lokasi lahan masyarakat yang harus segera dipulihkan oleh PT CPI sehingga kerugian lingkungan hidup dan masyarakat tidak semakin besar.

"Namun demikian, apakah SKK MIGAS selama ini mempunyai kewenangan melakukan diskresi untuk mengalihkan tanggung jawab akibat dosa-dosa yang telah dibuat PT Chevron Pacific Indonesia dengan menyetujui biaya pemulihan pelanggaran lingkungan hidup yang berjumlah triliunan rupiah dikembalikan kepada PT CPI dalam skema PSC (production sharing contract) atau mengalihkan tanggung jawab  kepada PT PHR setelah 8 Agustus 2021 nanti," katanya, "silahkan tanya ke SKK MIGAS".

"Kita berharap jangan sampai DBH Migas berkurang karena untuk menanggung pelanggaran yang dilakukan PT Chevron Pasific Indonesia dan PT Caltex Pacific Indonesia, sehingga merugikan masyarakat Indonesia.**


Eko Sulastono

Komentar Via Facebook :