Dukungan Mengalir Dari Ratusan Wartawan Senior dan Ormas
Laporkan Kebun Oberlin Marbun dalam Kawasan Wartawan Dapat Dukungan, LPPHI ; Kita Menggugat

Pekanbaru - Hebohnya berita oknum pengurus salah satu organisasi Pers terbesar di Riau, memiliki kebun dalam kawasan hutan “merambah Ex HPH Siak Raya Timber, HPT Tesso Nilo” tepatnya di wilayah Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) Pelalawan, Riau, menyebabkan banyak wartawan anggota organisasi itu “gerah?”.
Banyak dari mereka yang ingin ikut melaporkan kebun itu ke pihak berwajib, “laporan itu agar jelas apakah pengurus organisasi kami bersalah atau memang beliau menjual (mencatut) nama organisasi. Nanti setelah dilaporkan akan jelas. Apakah merambah kawasan untuk kebun sawit itu salah?,” kata salah seorang anggota yang selama ini belum tahu kalau selama ini nama besar organisasi “dijual” diduga untuk kepentingan pribadi.
Untuk kejelasan kasus ini kalau tak ada aral melintang habis lebaran ini beberapa anggota akan melaporkan kasus kebun sawit dalam kawasan hutan itu. kami mendapat dukungan dari ratusan anggota maupun wartawan lain di Riau, “apalagi saya dengar kawasan itu untuk konservasi gajah,” katanya, Selasa (18/4/23).
Melihat berita wartawan yang merupakan calon pelopor khususnya dari kalangan anggota organisasi ini, banyak kalangan yang mendukung, salah satu dari Lembaga Pencegah Perusak Hutan Indonesia (LPPHI), termasuk beberapa yayasan lingkungan besar di Riau.
“Rekan kita melaporkan pidananya, nanti kita akan bantu menggugat ke Pengadilan setempat,” kata pembina LPPHI Riau, Heriyanto, Selasa (18/4/23).
Menurut aktivis peduli lingkungan ini “dengan adanya kebun sawit dalam kawasan, ini mempersempit ruang lingkup habitat gajah, karena dalam kawasan itu sudah banyak digarap para oknum maupun korporasi menjadi kebun sawit.
“Kita Prihatin luasan kebun sawit itu mempersempit ruang gerak gajah, sehingga konflik dengan manusia dikhawatirkan akan terjadi. Makanya kita pastikan akan menggugat semoga mendapat doa dan restu dari masyarakat terutama anggota organisasi pers,,” kata Hariyanto,
Selain LPPHI dan pegiat lingkungan di Riau, gugatan maupun laporan pidana pada aparat hukum, para wartawan juga mendapat dukungan dari sejumlah organisasi Kepemudaan di Riau.
“Jangan takut sedikitnya ratusan wartawan dan Ribuan anggota organisasi kepemudaan yang ada di Riau mendukung Gugatan LPPHI dan laporan wartawan,” kata salah seorang ketua Pemuda, Pelalawan, Anton.
Sebelumnya pengakuan wartawan dekat mantan Bupati Pelalawan HM Harris, menyebut Kebun dalam kawasan HPT Tesso Nilo tepatnya di wilayah Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) Pelalawan, Riau, “diduga pemiliknya adalah Oberlin Marbun”.
Sayang Oberlin Marbun dikonfirmasi Senin (18/4/23) tidak lagi mau menjawab, namun awal berita terbit dia pernah menjawab “jangan tanya-tanya itu,” katanya.
Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bambang Hendroyono, ikut angkat bicara, dia menegaskan bahwa tidak ada pemutihan ataupun pengampunan bagi kepemilikan sawit dalam kawasan hutan.
Hal ini ditegaskan Sekjen KLHK, Bambang Hendroyono, dalam sosialisasi implementasi UU Cipta Kerja nomor 11 tahun 2020 dan PP 24 tahun 2021 kemarin.
''Dalam UUCK tidak ada pemutihan dan pengampunan, kita sepakat menyelesaikan terbangunnya usaha atau kegiatan sebelum UUCK di dalam kawasan hutan yang ditandai selesainya proses hukum administrasi. Seperti dalam pasal 110 B UUCK, kawasan yang kita selesaikan tetap akan berstatus kawasan hutan,'' jelas Bambang pad media.
Ketua tim Satuan Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Implementasi (Satlak Wasdal) UUCK ini mengatakan, pendekatan hukum yang digunakan memang ultimum remedium atau mengedepankan sanksi administratif.
“Namun ingat bukan berarti sanksi hukum hilang begitu saja. Pengenaan sanksi administratif digunakan untuk memberi ruang bagi kelompok masyarakat yang berada di dalam kawasan, contohnya akibat perubahan tata ruang, kebijakan ijin lokasi yang dikeluarkan Pemda, dan juga kelompok rakyat kecil yang telah bermukim lima tahun berturut-turut,” katanya.
Kebun sawit dalam kawasan hutan akan diidentifikasi penyelesaiannya melalui pasal 110 A dan pasal 110 B. Kebijakan ini hanya berlaku bagi yang sudah beraktifitas dalam kawasan sebelum UUCK.
Jika masih melakukan kegiatan baru dalam kawasan hutan setelah UUCK disahkan 2 November 2020 lalu. “Maka langsung dikenakan penegakan hukum dengan mengedepankan sanksi pidana, tidak berlaku lagi sanksi administratif untuk mereka,'' tegas Bambang.**
Komentar Via Facebook :